Thursday 15 April 2010

mungkin jurnal

belum lulus mabim neh...

Pemanfaatan Limbah Sawit untuk Bahan Pakan Ikan
(A. Hadadi, Herry, Setyorini, A.Surahman, E. Ridwan)
11
PEMANFAATAN LIMBAH SAWIT UNTUK BAHAN PAKAN IKAN
A. Hadadi, Herry, Setyorini, A.Surahman, E. Ridwan
Abstrak
Dewasa ini permintaan terhadap produksi perikanan budidaya guna memenuhi gizi masyarakat
semakin meningkat. Konsumsi ikan penduduk Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan sekitar
4,6% pada tanuh 2003. Disamping itu, adanya wabah flu burung pada unggas pada tahun 2006 menjadikan
ikan sebagai sumber protein hewani yang cukup aman dikonsumsi. Kenaikan konsumsi ikan oleh masyarakat
tersebut berpengaruh sangat besar terhadap kenaikan produksi ikan mengingat Indonesia memiliki jumlah
penduduk yang sangat besar. Dengan meningkatnya produksi ikan terutama ikan budidaya maka secara
otomatis akan terjadi kenaikan permintaan pakan.
Untuk menghasilkan pakan yang bermutu maka ketersediaan bahan baku harus tetap terjaga secara
kualitas dan kuantitas. Disamping itu, bahan baku ini harus mudah diperoleh, tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia, ekonomis dan tersedia sepanjang waktu.
Limbah dan hasil ikutan industri pertanian seperti Bungkil kelapa sawit (BKS) merupakan sumber baku
pakan yang cukup banyak tersedia di Indonesia. BKS dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pakan
dengan berbagai perlakuan agar dapat dimanfaatkan oleh ikan.
Ada dua teknik yang diujicoba dalam perekayasaan ini, yaitu fermentasi BKS aplikasi pada ikan nila
dengan tiga pelakuan pakan A (30% BKS fermentasi); pakan B (30% BKS); pakan C (30% bungkil kedelai)
dan kultur maggot dari BKS aplikasi pada ikan lele dumbo dengan tiga perlakuan pakan I (100% maggot);
pakan II (50% maggot + 50% pakan formula lele); pakan III (100% pakan formula lele. Masing-masing
perlakuan dihitung nilai Survival Rate (SR), Feed Conversion Radio (FCR), Spesific Growth Rate (SGR) dan
persentase pertambahan berat badan ikan (%W).
Dari hasil perekayasaan ini di dalam hasil pengujian fermentase BKS pada ikan nila untuk pakan A
(SR= 68,8%; FCR= 2,76 ; 7,02% ; %W=138%); pakan B (sr=72,10% ; FCR= 2,19 ; SGR= 7,49% ; %W=
179%); pakan C (SR=77,03% ; FCR= 1,82 ; SGR= 7,83% ; %W= 222%). Sedangkan hasil pengujian
maggot pada ikan lele dumbo pakan I (SR= 82,38% ; FCR= 1,62 ; SGR= 18,22% ; %W= 319,89%); pakan
II (SR= 77,50% ; FCR= 1,16 ; SGR= 18,46% ; %W= 335,09%); pakan II (SR= 63,70% ; FCR= 1,16 ;
SGR= 18,46% ; %W= 335,09%) ; pakan III (SR= 63,70% ; FCR= 1,42 ; SGR= 18,08% ; %W= 261,25%).
Pengujian ikan nila yang beri formulasi paka B relatif lebih baik dari pakan C bila dilihat nilai SR, FCR,
SGR, %, tetapi masih lebih kecil dari pakan C yang digunakan sebagai kontrol. Namun perekayasaan ini
sudah mengindikasi bahwa BKS dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan. Pengujian ikan lele dumbo
yang diberi pakan II mempunyai FCR lebih baik dibandingkan dengan pakan I dan III. Hal ini menunjukan
bahwa pemberian pakan campuran antara maggot 50% dengan pakan formulasi mempunyai pengaruh yang
positif.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini permintaan terhadap produk
perikanan budidaya guna memenuhi gizi masyarakat
semakin meningkat. Konsumsi ikan penduduk
Indonesia pada tahun 2002-2003 mengalami kenaikan
sekitar 4,6%, yaitu dari 21,57 kg/kapita/tahun menjadi
24,67 kg/kapita/tahun. Kenaikan ini berpengaruh
sangat besar terhadap kenaikan produksi ikan
mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yang
sangat besar. Dengan meningkatnya produksi ikan
terutama ikan budidaya maka secara otomatis akan
terjadi kenaikan permintaan pakan.
Namun permintaan pakan yang cenderung
semakin tinggi sejalan dengan makin intensifnya
kegiatan budidaya, ternyata tidak diikuti dengan
meningkatnya penyediaan bahan baku, terutama
tepung ikan. Produksi tepung ikan dunia dalam lima
tahun terakhir kecenderungannya tetap, sehingga
perlu dicari alternatif penyediaan bahan baku selain
tepung ikan. Khususnya untuk di Indonesia, ternyata
hampir sebagian besar bahan baku pakan berasal dari
impor, yaitu sebesar 70-80%. Terdiri dari tepung
Jurnal Budidaya Air Tawar Volume 4 No. 1 Mei 2007 (11-18)
12
ikan, bungkil kedelai dan jagung. Oleh karenanya
mencari bahan baku lokal merupakan suatu
kemestian.
Untuk menghasilkan pakan yang bermutu maka
ketersediaan bahan baku harus tetap terjaga secara
kualitas dan kuantitas. Disamping itu, bahan baku ini
harus mudah diperoleh, tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia, ekonomis dan tersedia sepanjang
waktu.
Limbah dan hasil ikutan industri pertanian
adalah sumber baku pakan yang cukup banyak
tersedia. Bungkil kelapa sawit (BKS), merupakan
hasil ikutan industri minyak kelapa sawit, yang telah
umum dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan,
namun bahan pakan tersebut mempunyai faktor
pembatas, yaitu kandungan serat yang cukup tinggi
dan kualitas protein yang kurang baik, sehingga perlu
diolah agar lebih bermanfaat bagi pembudidaya ikan.
Fermentasi oleh jamur dan biokonversi BKS
menjadi magot, merupakan salah satu pengolahan
bahan pakan tersebut. Aktivitas dari jamur
memungkinkan terjadinya perombakan terhadap
komponen bahan yang sulit dicerna, sehingga terjadi
peningkatan nilai manfaat dari zat-zat makanan
produk pengolahan dibandingkan bahan asalnya.
Demikian pula halnya dengan biokonversi menjadi
produk biologis, yang merupakan sumber protein
hewani.
Trichoderma sp adalah jamur yang dapat
melakukan proses perombakan pada bahan yang
berserat tinggi. Jamur ini mempunyai sifat selulolitik
yaitu merombak selulosa menjadi sellubiosa yang
akhirnya menjadi glukosa. Serat kasar BKS dapat
diuraikan oleh jamur Trichoderma sp, hal ini akan
merubah susunan ikatan zat-zat makanan BKS,
sehingga kemungkinan akan mudah dicerna oleh ikan.
Berdasarkan hasil penelitian Ng et al. (2004),
BKS yang difermentasi oleh Trichoderma koningii,
menghasilkan peningkatan kandungan protein kasar,
yaitu dari 17% menjadi 32%. Penelitian tentang
penggunaan BKS sebagai pakan telah dilakukan oleh
Ng dan Chen (2002) pada ikan lele, hasilnya
pemberian BKS sebanyak 20% dalam pakan tidak
berpengaruh negatif pada pertumbuhan. Namun
pemberian 40% dengan ditambahakan asam amino Lmethionin
1,2% menjadikan lambat pertumbuhannya.
Hal ini mengindikasikan bahwa methionin bukan
satu-satunya limiting factor asam amino esensial
dalam BKS, namun perlu ada kombinasi dengan asam
amino esensial lainnya.
Pada tahun 2005, BBAT Sukabumi telah
melakukan rekayasa kultur magot dari BKS, hasilnya
positif magot dapat diproduksi dengan menggunakan
media kultur BKS yang sudah difermentasi. Dari
ujicoba pendahuluan hampir semua ikan air tawar
menyukai magot sebagai sumber makanan. Pada
benih ikan baung yang diberi pakan magot, cacing
rambut dan pakan komersial menunjukkan pengaruh
yang sama. Pada ikan lele dan ikan patin kombinasi
pemberian pakan buatan komersial dengan magot
menunjukkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang
terbaik dibandingkan dengan pemberian magot atau
pakan buatan komersial saja.
Berdasarkan dari permasalahan dan hasil ujicoba
sebelumnya, maka akan dilakukan perekayasaan
pemberian BKS dan BKS fermentasi pada
pembesaran ikan nila serta pemberian magot sebagai
pakan dalam usaha pembesaran ikan lele dumbo.
Dari hasil rekayasa ini diharapkan akan diperoleh
pakan yang murah guna mendukung usaha budidaya
ikan nila dan lele dumbo.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan
pakan murah dari bahan baku limbah sawit guna
mendukung dalam usaha pembesaran ikan nila dan
ikan lele dumbo.
Pemanfaatan Limbah Sawit untuk Bahan Pakan Ikan
(A. Hadadi, Herry, Setyorini, A.Surahman, E. Ridwan)
13
Target
Diperoleh teknologi tepat guna dalam
penyediaan pakan ikan dengan menggunakan bahan
baku lokal, sehingga tersedia pakan yang mudah
didapat, harganya murah dan kontinyuitas terjamin.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Waktu dan tempat pelaksanaan pada bulan
Januari-Desember 2006 di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Tawar
Bahan dan Metode
Limbah Sawit
Limbah sawit yang dimaksud adalah bungkil
kelapa sawit (BKS) yang merupakan hasil ikutan atau
limbah dari pembutan minyak kelapa sawit.
Komposisi kimianya sangat bergantung pada keadaan
buah dan biji yang digunakan dalam proses
pengolahan minyak kelapa sawit. BKS ini
merupakan salah satu yang biasa digunakan dalam
ransum untuk ternak, seperti sapi, kuda dan babi.
BKS ini mudah menjadi tengik, terlebih apabila masih
mengandung banyak lemak. Secara kimiawi BKS ini
memiliki kandungan protein berkisar 17%, kandungan
lisin dan methionin relatif rendah dibandingkan
dengan sumber protein nabati lainnya, serat kasar
tinggi dan kemungkinan sulit dicerna oleh ikan.
Proses Fermentasi
Untuk meningkatkan kualitas BKS dilakukan
proses fermentasi. Dari kegiatan ini diharapkan
kandungan seratnya dapat dirombak ke dalam bentuk
yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna oleh
ikan, kandungan proteinnya dapat meningkat. Dalam
proses fermentasi ini akan menggunakan sumber
mikroba dan enzim fermentasi dari isi perut hewan
ruminansia, yaitu dari isi perut domba atau sapi.
Isi perut tersebut disaring, diambil cairannya
kemudian dicampur dengan bungkil sawit. Jumlah
cairan bibit fermentasi sekitar 10-30%. Campuran
bahan tersebut kemudian ditambahkan air agar proses
pengadukannya merata dan selanjutnya dimasukkan
dalam tong plastik. Untuk mempertahankan suhu
media, lingkungan disekitarnya dilengkapi dengan
sekam padi. Selama proses fermentasi dilakukan
pengecekan terhadap suhu dan pH media yang
dilakukan pada awal, pekanan dan akhir proses
fermentasi. Lama proses fermentasi ini berkisar 3-4
minggu.
Kultur Magot
Magot merupakan salah proses biokonversi, dari
bahan organik nabati dirubah menjadi organik hewani
dengan kandungan protein cukup tinggi. Magot yang
dibudidaya berasal dari larva insekta black solder,
Hermetia illucens. Insekta ini banyak ditemukan dari
daerah tropis hingga subtropis. Ukuran dewasa hidup
ditanaman rerumputan dan sari bunga sebagai sumber
makanannya.
BKS fermentasi disimpan dalam wadah jolang,
fibre glas atau bak semen, ditebar secara merata.
Dalam tempo seminggu biasanya sudah ditemukan
larva magot. Larva tersebut bisa dipelihara dalam
wadah sebelumnya atau dikumpulkan untuk dipelihara
dalam wadah lain, dengan setiap hari diberi makanan
berupa BKS fermentasi. Magot usia 10-14 hari sudah
bisa dipanen. Caranya dengan cara memisahkan
magot dari substrat, kemudian dicuci. Magot ini bisa
dilangsung diberikan ke ikan sebagai pakan,
disimpan dalam freezer atau dibuatkan dalam bentuk
tepung.
Ikan Uji
Ikan uji yang digunakan untuk mencoba pakan
dengan munggunakan BKS dan BKS fermentasi
adalah ikan nila. Ikan ini berasal dari ikan yang
dikembangkan di masyarakat. Ukuran awal ikan nila
berkisar 20-50 g/ekor. Sedangkan untuk menguji
Jurnal Budidaya Air Tawar Volume 4 No. 1 Mei 2007 (11-18)
14
magot sebagai pakan digunakan ikan lele dumbo,
dengan ukuran awal 10-20 g/ekor. Asal benih untuk
ikan nila dan lele dumbo berasal dari para
pembuidaya yang berkembang di masyarakat, dengan
maksud agar secara genetis tidak ada perbedaan antara
ikan uji dengan ikan yang dikembangan oleh para
pembudidaya sehingga hanya faktor pakan saja yang
jadi bahan kajian.
Formula Pakan Untuk Ikan Nila
dan Proses Pengujiannya
Ada tiga formula pakan yang akan diuji pada
pembudidayaan ikan nila, yaitu sebagai berikut :
Tabel 1. Formula Pakan untuk Ikan Nila
BAHAN BAKU PERLAKUAN PAKAN (%)
A (BKSf) B (BKS) C (BK)
Tepung ikan 20 20 20
Tepung kedelai 0 0 30
Tepung BKSf 30 0 0
Tepung BKS 0 30 0
Tepung dedak 22,5 22,5 22,5
Tapioka/sagu 15 15 15
Minyak ikan 2 2 2
Minyak sawit 4 4 4
Vitamin mix 2,5 2,5 2,5
Mineral mix 4 4 4
Harga per kg (Rp) 3190,- 3160,- 4240,-
BKSf = Bungkil kelapa sawit fermentasi
BKS = Bungkil kelapa sawit
BK = Bungkil Kedelai
Prosedur pembuatan pakan sebagai berikut :
􀁸 Bahan pakan ditimbang sesuai dengan formula,
kemudian diproses dengan menggunakan mesin
untuk dijadikan pelet
􀁸 Pakan yang sudah berbentuk pelet dikemas agar
tidak mudah rusak dan tidak terkontaminasi.
􀁸 Pakan selanjutnya dilakukan analisa proksimat
di laboratorium
Pengujian pakan dilakukan di kolam keramba
jaring apung Cirata, dengan prosedur sebagai berikut:
􀁸 Menyiapkan wadah berupa jaring ukuran (6 x 6
x 3)m sebanyak 6 buah. Tiap wadah diisi ikan
nila hitam sebanyak 50 kg dengan jumlah ekor
kurang lebih 1.500-2.000 ekor.
􀁸 Untuk melihat bobot dan panjang standar
individu ikan pada saat penebaran, dilakukan
pengukuran dan penimbangan pada setiap
wadahnya dengan cara diambil sampel sebanyak
50 ekor.
􀁸 Jumlah pakan diberikan setiap hari sebanyak 5-
3% dengan frekuensi pemberian 3 kali
􀁸 Pemeliharaan dilakukan selama 2-3 bulan.
􀁸 Pada akhir pengujian dilakukan pengukuran
terhadap bobot ikan setiap wadah dan
penghitungan jumlah ekor, serta pada setiap
wadah diambil 50 ekor untuk diukur panjang dan
ditimbang bobot individu. Jumlah pakan selama
pengujian dicatat.
Pemberian Magot Pada Ikan Lele
dan Proses Pengujiannya
Ada tiga jenis pakan yang akan dilakukan
pengujian pada pembesaran ikan lele dumbo, yaitu :
magot 100% (A); magot 50% dan pakan formula lele
50% (B); dan pakan formula lele 100% (C). Setiap
perlakuan akan dilakukan pengulangan sebanyak dua
kali.
Jumlah pemberian pakan setiap harinya
sebanyak 10-3%, dengan frekuensi pemberian 3 kali,
yaitu pada pkl 08.00, 11.30 dan 16.00. Penyesuaian
jumlah pakan dilakukan setiap 1 minggu sekali
dengan menimbang ikan setiap wadahnya secara
sampling sebanyak 50 ekor.
Wadah pemeliharaan digunakan bak terpal
plastik berukuran 7x2,5x0,5 m sebanyak 6 buah.
Tiap wadah ditebar benih lele dumbo sebanyak
kurang lebih 20 kg dengan jumlah sekitar 2000 ekor.
Untuk menghindari adanya kanibalisme oleh
ikan lele yang memiliki pertumbuhan cepat sehingga
ukurannya lebih besar, maka pada umur 1 bulan
dilakukan pengecekan dan ukurannya yang lebih
besar tersebut ditangkap, dihitung dan ditimbang serta
dicatat pada setiap wadahnya.
Pemanfaatan Limbah Sawit untuk Bahan Pakan Ikan
(A. Hadadi, Herry, Setyorini, A.Surahman, E. Ridwan)
15
Lama pemeliharaan hingga mencapai ukuran
konsumsi diperkirakan 75 hari. Pada akhir
pemeliharaan dilakukan pemanenan total, semua ikan
pada setiap wadah ditimbang dan dihitung, serta
diambil 50 ekor untuk melihat bobot dan panjang
individu.
Parameter Uji
Dalam kegiatan ini sebagai parameter uji adalah
:Bobot badan ikan akan diamati setiap pekan.
Sampling dilakukan terhadap 50 ekor ikan per kolam.
􀁸 Persentase penambahan berat badan ikan
dihitung dengan rumus:
((Wt2 – Wt1) / Wt1) X 100%
Wt1 : berat badan ikan di awal
Wt2 : berat badan ikan di akhir.
􀁸 Spesific growth rate (%) dihitung dengan rumus:
SGR = (log berat badan akhir – log berat badan
awal/lama hari pemeliharaan x 100)
􀁸 Survival rate (SR) dihitung dengan rumus:
SR = N/No x 100%
N : jumlah ikan pada akhir uji
No : jumlah pada awal uji
􀁸 Feed conversion ratio (FCR) :
ΣFt1,2 / (Wt2 – Wt1)
ΣFt1,2 adalah jumlah pakan yang diberikan
selama masa pemeliharaan
􀁸 Data kualitas air : Sebagai data tambahan,
kualitas air selama pemeliharaan ikan akan
dicatat, yaitu pada awal, pertengahan dan akhir.
Parameter yang diamati adalah suhu, oksigen,
pH, CO2, Alkalinitas dan NH3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian pakan dengan formula pakan
dari limbah sawit pada ikan nila yang dipelihara
dalam keramba jaring apung (KJA) selama 60 hari
disajikan pada Tabel 2. Hasil analisa proksimat pada
limbah sawit, limbah sawit fermentasi dan pakan
dalam bentuk pelet disajikan pada Tabel 3.
Hasil pengujian pemberian magot dan pelet pada
ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 4 dan hasil
pemantauan kualitas air pada media pemeliharaan
ikan nila dan lele dumbo disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Rekayasa pemberian pakan dengan
menggunakan bahan baku lokal berbasis limbah
bungkil sawit pada pembesaran ikan nila di KJA,
menunjukkan hasil sebagai berikut: ikan nila yang
diberi pakan pelet dengan bahan baku basis bungkil
kelapa sawit (BKS) relatif lebih baik dibandingkan
ikan nila yang diberi pelet bahan baku berbasis
bungkil kelapa sawit fermentasi (BKSf), baik dari segi
derajat kelangsungan hidup, rasio konvesi pakan, laju
pertumbuhan spsesifik dan persentase penambahan
bobot total. Namun apabila dibandingkan dengan
kontrol yaitu pakan dengan berbasis bahan baku
bungkil kedelai (BK) kedua jenis pakan jauh lebih
rendah (Tabel 2).
Perekayasaan ini sudah mengindikasikan bahwa
limbah bungkil sawit dapat dijadikan sebagai bahan
baku untuk untuk pakan ikan. Hal ini terlihat dari
adanya peningkatan pertumbuhan dan memberikan
FCR sebesar 2,19 pada ikan nila yang diberi pakan
BKS. Selain itu harga pakan jauh lebih murah
dibanding dengan pakan dengan menggunakan bahan
baku bungkil kedelai. Harga pakan per kg untuk
pakan BKS sebesar Rp 3160,-, BKSf Rp 3190,- dan
BK Rp 4240,-.
Dari hasil analisis proksimat (Tabel 3)
kandungan protein bungkil sawit fermentasi
menunjukkan sebesar 22,76%, bungkil sawit tanpa
fermentasi 17,45%, bungkil kedelai 43,5%.
Sedangkan kandungan protein sudah dlalam bnetuk
peletnya adalah sebagai berikut : BKSf 23,85%, BKS
22,18% dan BK 29,34%. Dari kandungan protein ini
terlihat bahwa bungkil kedelai demikian pula halnya
pelet yang berbasis bungkil kedelai merupakan yang
tertinggi sehingga wajar akan memberikan
pertumbuhan dan FCR yang paling baik terhadap
pertumbuhan ikan nila, karena yang menopang untuk
Jurnal Budidaya Air Tawar Volume 4 No. 1 Mei 2007 (11-18)
16
pertumbuhan sangat bergantung pada kandungan
protein pakan. Bungkil sawit fermentasi dan
BKSfnya kandungan proteinnya lebih baik
dibandingkan dengan bungkil sawit tanpa fermentasi
dan BKS, namun terhadap pertumbuhan ikan nila
ternyata yang lebih baik adalah ikan nila yang diberi
pakan BKS. Hal ini dimungkinkan karena protein
dalam BKSf walaupun tinggi namun sudah
terhidrolisis pada proses fermentasi sehingga protein
yang tinggi ini tidak cukup signifikan berpengaruh
terhadap pertumbuhan, karena proteinnya
kemungkinan kurang tercerna oleh ikan.
Tabel 2. Hasil Pengujian Pakan Limbah Sawit pada Ikan Nila di KJA selama 60 hari
TANAM PANEN
JENIS PAKAN BOBOT
(Kg)
JUMLAH
(ekor)
BOBOT
(Kg)
JUMLAH
(ekor)
BOBOT
PAKAN
(Kg)
SR (%)
FCR SGR (%) % W
BKS1 50 1500 140 1190 197.5 79.33 2.19 7.50 180.00
BKS2 50 1500 139 973 195 64.87 2.19 7.48 178.00
BS rata-rata 50 1500 139.5 1081.5 196.25 72.10 2.19 0.0749 179.00
BK1 50 1500 176 1161 210 77.40 1.67 8.06 252.00
BK2 50 1500 146 1150 190 76.67 1.98 7.61 192.00
BK rata-rata 50 1500 161 1155.5 200 77.03 1.82 0.0783 222.00
BKSf1 50 1500 105 777 175 51.80 3.18 6.68 110.00
BKSf2 50 1500 133 1287 195 85.80 2.35 7.36 166.00
BSf rata-rata 50 1500 119 1032 185 68.80 2.76 0.0702 138.00
BKSf = Bungkil kelapa sawit fermentasi SR = Survival Rate
BKS = Bungkil kelapa sawit FCR = Feed Consumption Ratio
BK = Bungkil Kedelai SGR = Specific Growth Rate
Tabel 3. Hasil Analisa Proksimat Limbah Bungkil Sawit, Magot dan Pelet untuk Kegiatan Perekayasaan
KANDUNGAN PROKSIMAT (%)
BAHAN BAKU/PELET
AIR ABU PROTEIN LEMAK SERAT BETN
Bungkil sawit fermentasi 1.13 10.18 22,51 2.25 20.80 43.13
Pelet BKSf 12.01 23.66 20,99 11.75 8.24 23.35
Bungkil sawit 8.75 7.32 15.93 19.66 8.89 39.45
Pelet BKS 3.25 9.77 21.46 8.83 8.25 48.44
Pelet BK 8.96 13.83 26.71 8.92 9.20 32.38
Tepung Magot 11.10 14.30 40.01 14.92 19.53 0.14
Dalam bobot kering (kandungan air 0%)
Bungkil sawit fermentasi 0 10.30 22.76 2.28 21.04 43.62
Pelet BKSf 0 26.88 23.85 13.35 9.36 26.56
Bungkil sawit 0 8.02 17.45 21.55 9.74 43.24
Pelet BKS 0 10.10 22.18 9.13 8.53 50.06
Pelet BK 0 15.19 29.34 9.80 10.10 35.57
Tepung Magot 0 16.09 45.01 16.78 21.97 0.15
Pemanfaatan Limbah Sawit untuk Bahan Pakan Ikan
(A. Hadadi, Herry, Setyorini, A.Surahman, E. Ridwan)
17
Tabel 4. Pemberian Magot dan Pakan Buatan pada Ikan Lele Dumbo
selama 2 Bulan (60 Hari) dalam Kolam Terpal Plastik (20 m2)
TANAM PANEN Σ PAKAN (G)
MINGGU
GRAM EKOR GRAM EKOR MAGGOT
(GRAM)
PELLET
(GRAM)
SR
(%)
FCR
SGR
(%)
% W
Magot 1 17100 2000 77100 1695 90600 0 84.75 1.51 18.34 350.88
Magot 2 18000 2000 70000 1600 90100 0 80.00 1.73 18.10 288.89
rata-rata 17550 2000 73550 1647.5 90350 0 82.38 1.62 18.22 319.89
M + P 1 19000 2000 83000 1500 37500 37500 75.00 1.17 18.44 336.84
M + P 2 19500 2000 84500 1600 37050 37050 80.00 1.14 18.47 333.33
rata-rata 19250 2000 83750 1550 37275 37275 77.50 1.16 18.46 335.09
Pelet 1 20000 2000 62200 1047 0 70850 52.35 1.68 17.75 211.00
Pelet 2 20000 2000 82300 1501 0 72250 75.05 1.16 18.40 311.50
rata-rata 20000 2000 72250 1274 0 71550 63.70 1.42 18.08 261.25
Keterangan : M + P = Pakan dalam bentuk magot dan pelet (50%)
Hasil perekayasaan ini apabila dibandingkan
dengan dengan hasil penelitian Ng et al. (2004)
hasilnya belum bisa menyamai. Dari hasil proses
fermentasi bungkil sawit menggunakan Trichoderma
sp yang dilakukan oleh Ng et al. (2004), mampu
meningkatkan kandungan protein kasar dari 17%
menjadi 32%. Perbedaan ini kemungkinan dari
proses fermentasi yang dilakukan oleh BBPBAT
masih belum sempurna, sehingga untuk kedepan perlu
dilakukan kajian dalam proses fermentasi bungkil
sawit sehingga diperoleh prosedur yang standar
dengan hasil yang maksimal.
Dari hasil perekayasaan pemberian magot,
dibandingkan dengan pelet dan campuran magot dan
pelet (Tabel 4) menunjukkan bahwa ikan lele dumbo
yang diberi pakan campuran magot dan pelet, masingmasing
50% jauh lebih baik pertumbuhan dan FCR
dibanding dengan magot atau pelet saja. Selanjutnya
diikuti oleh ikan yang diberi pelet dibanding dengan
magot saja. Adapun pelet yang digunakan adalah
pakan komersial dengan kandungan protein diatas
35%, yaitu pakan udang windu.
Pengaruh positif pemberian kombinasi magot
dan pelet terhadap pertumbuhan dan FCR pada ikan
lele dumbo, diduga oleh peran enzim pencernaan
yang terdapat dalam magot sehingg protein pakan
akan semakin mudah dicerna dan diserap oleh tubuh
ikan yang selanjutnya akan berdampak terhadap
cepatnya pada pertumbuhan dan pakan akan semakin
efisien. Kemungkinan lain akan semakin lengkapnya
komposisi asam amino esensial antara yang ada dalam
pelet dengan magot sehingga saling sinergi sehingga
berdampak positif terhadap pertumbuhan dan FCR.
Hasil pengukuran kualitas air (Tabel 5 dan 6) di
KJA untuk pemeliharaan ikan nila dan lele dumbo,
mengindikasikan bahwa parameter kualitas air di KJA
terutama pada bagian permukaan airnya masih dalam
batas toleransi untuk pemeliharaan ikan nila. Adapun
kualitas air pada pemeliharaan ikan lele dumbo
mengindikasikan bahwa ikan lele dumbo mempunyai
toleransi cukup tinggi pada perairan walaupun
kandungan oksigen rendah dan kandungan amoniak
tinggi ternyata bisa tumbuh dan hidup normal.
Jurnal Budidaya Air Tawar Volume 4 No. 1 Mei 2007 (11-18)
18
Tabel 5. Data Kualitas Air selama Pemeliharaan Ikan Nila di KJA
P A R A M E T E R
WAKTU PENGAMATAN
SUHU
( °C )
PH
O2
(mg/l)
CO2
(mg/l)
ALKALINITAS
(mg/l)
NH3
(mg/l)
NO2
(mg/l)
Awal :(d=0 m) 29 6,5 4,2 26,07 64,84 0,12 0,006
(d= 6m) 29 7 2,52 21,73 96,06 0,21 0,027
Akhir(d=0 m) 27,5 7 6,7 20,07 67,05 0,11 0,019
(d= 6m) 27 7 1,66 21,73 86,45 0,14 0,022
Baku mutu 25-30 6,5-8,5 > 4 < 12 50-300 < 1 < 0,06
Keterangan : d = kedalaman
Tabel 6. Hasil Pengukuran Kualitas Air dalam Wadah Uji Pakan Lele Dumbo dalam Kolam Terpal Plastik
PARAMETER
JAM STASIUN SUHU
(°C )
PH
O2
(mg/l)
CO2
(mg/l)
ALK
(mg/l)
NH3
(mg/l)
NO2
(mg/l)
25.4 7.50 4.15 24.60 112.50 0.96 0.174
08.00 Bak terpal 24.8 7.17 1.91 13.70 81.04 0.70 0.104
24.0 6.7 0.7 11.0 49,79 2.6 0.2
Rataan 24.73 7,12 2,25 16,43 81.11 1.42 0,159
Baku mutu 25-30 6,5-8,5 > 4 < 12 50-300 < 1 < 0,06
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan sebagai
berikut :
􀁸 Pakan dengan bahan baku limbah sawit dapat
digunakan untuk pembesaran ikan nila,
walaupun dari segi efektifitasnya masih kalah
dibandingkan dengan pakan dengan
menggunakan basis bahan baku bungkil kedelai.
Namun dari segi harga pakan ini jauh lebih
murah sehingga dapat dijadikan sebagai pakan
alternatif.
􀁸 Proses fermentasi limbah bungkil sawit mampu
meningkatkan kandungan protein kasar dari
17,45% menjadi 22,76%. Namun peningkatan
protein ini tidak menjadi otomatis berdampak
terhadap memcu pertumbuhan pada ikan nila
yang diberi pakan dengan bahan baku bungkil
sawit fermentasi.
􀁸 Pemberian kombinasi magot dan pelet masingmasing
50% memberikan pengaruh yang terbaik
pada pertumbuhan dan rasio konversi pakan
pada pembesaran ikan lele dumbo yang
dipelihara selama 2 bulan.
Sebagai saran adalah sebagai berikut :
􀁸 Perlu dilakukan perekayasaan guna sempurnanya
proses fermentasi limbah bungkil sawit sehingga
akan diperoleh kandungan protein yang
maksimal dan bahan tersebut dapat dicerna oleh
ikan.
􀁸 Untuk pembesaran ikan lele dumbo agar
diperoleh pertumbuhan dan FCR yang maksimal
disarankan diberi pakan kombinasi antara pelet
dan magot masing-masing 50%.
DAFTAR PUSTAKA
Ng, W.K. and Chen, M.L. 2002. Replacement of
soybean meal with palm kernel meal in practical diets
for hybrids Asian-Africancatfish. Aquaculture 12:
67-76
Ng et al. 2004. Researching the use of palm kernel cake
in aquaculture feeds. Fish Nutrition Laboratory,
Universiti Sains Malaysia. Penang.

No comments:

Post a Comment